Kembali bertemu dalam posting saya yang sudah super
duper basi, saya akan bercerita mengenai pengalaman saya mendaki gunung di
bulan Desember 2014. Setelah pulang dari Riung dan kembali melanjutkan tugas
saya di Bajawa, di akhir pekan kami berencana untuk mendaki Gunung Inerie yang
menjulang megah di Bajawa. Kali ini kami tidak berjalan berdua tetapi ada
tambahan seorang laki-laki sesame staf yang bersedia ikut dalam perjalanan.
Saya dan si senior memang belum pernah mendaki gunung dan ini adalah pendakian
pertama dalam hidup kami, sementara si laki-laki hobi dan sudah berkali-kali
naik gunung. Ya, setidaknya kami merasa sedikit aman untuk pendakian ini. Ohh ya Inerie sendiri artinya adalah perempuan cantik. Si cantik Inerie yang selalu membuat saya terkagum dan jika anda berminat mungkin juga bisa menonton sebuah film dokumenter yang dibintangi Lola Amaria dengan judul "Inerie". Ohh ya cukup sudah...
Gunung Inerie dari Kampung Bena, abaikan punggungnya |
Kami berencana akan naik pada Sabtu pagi, dan di
hari Jumat sore kami berangkat menuju Kampung Bena. Kampung Bena adalah kawasan
kampung adat yang dijadikan obyek wisata dan terletak di kaki gunung Inerie.
Sebelum mampir di Kampung Bena, kami singgah di sebuah rumah yang ada plang
“Guide to Inerie Mountain”. Kami berbincang dan mengutarakan rencana kami untuk
naik esok pagi, si Om Guide mengiyakan dan kami sepakati bahwa kami akan
membayar sebesar Rp 300.000 sebagai fee guide. Kami sempat bertukar nomor hp
(jangan Tanya saya, karena HP saya sudah rusak) dan berjanji akan start pukul 3
pagi. Setelah itu kami pun melanjutkan perjalanan dengan motor menuju Kampung
Bena. Kami mengitari, melihat pembuatan tenun, dan rumah adat orang Bajawa.
Sepulang dari Kampung Bena, kami pun berbelanja
kebutuhan untuk pendakian besok di Grosir paling hits se Bajawa yaitu Toko
Langganan. Saat menyusun keperluan ke dalam carrier, saya sempat kagum dengan
persiapan dan perbekalan yang sepertinya lebih dari cukup untuk pendakian
sekitar 8 jam pp tapi tidak masalah yang penting besok pagi kami bisa berangkat
dan memanjat gunung megah yang hampir tiap hari kami lihat. Kami langsung
buru-buru tidur agar stamina cukup untuk perjalanan berat esok pagi.
Grosir kenamaan di Bajawa (dan ternyata arsiteknya adalah teman gereja saya di Bandung) |
Pukul 02.15 WITA alarm HP berbunyi dan kami langsung
bersiap untuk berangkat dengan menembus dinginnya udara subuh Bajawa menaiki
motor menuju Desa Bena kurang lebih selama 30 menit. Setibanya di rumah si Om
Guide, kami langsung mengetuk rumahnya dan beliau pun bersiap-siap. Kami
menitipkan motor di rumah beliau dan mulai berjalan menuju kantor desa, karena
disitulah pintu menuju si Gunung cantik. Dengan diterangi cahaya headlamp, kami
mulai melangkahkan kaki di tengah kegelapan subuh. Satu jam pertama semangat
masih penuh sambil mata tetap awas melihat jalan yang akan dilalui. Jam-jam
berikutnya semakin menguras tenaga dan nafas tersenggal-senggal. Kami cukup
berhenti, istirahat sebentar dan menormalkan nafas kembali begitu seterusnya
hingga tak terasa matahari mulai terbit sementara kami masih setengah
perjalanan tetapi kami sempat berhenti dan menyaksikan langit berubah warna dan
awan-awan yang bergeser menunjukkan gradasi indah. Saya akui bahwa saya
termasuk “pejompo” dalam perjalanan ini, langkah saya luar biasa lambat,
mungkin karena di masa lalu saya termasuk orang yang sangat sering jatuh
ataupun terpeleset sehingga sekarang saya sangat berhati-hati dalam melangkah.
Setapak demi setapak kami melangkah dan saya pun
terkejut melihat medan pasir yang kini ada di hadapan kami. Jalur semakin curam
dan sungguh sulit memilih dan melangkah di medan pasir tersebut. Saya hampir
hopeless dan menangis ketika terjatuh berkali-kali dan kebingungan memilih
jalan mana yang harus saya lalui. Saya sempat terjatuh dan sangat sulit untuk
bangkit dari kemiringan ajaib, setelah berhasil bangkit dan sedikit dorongan
saya kemudian memegang tangan si Om Guide hingga tiba di puncak. Ya, saya
persis seperti seorang nenek yang dituntun hingga ke puncak gunung. Saat
menjejakkan kaki pertama kali saya langsung berteriak dan kemudian memandang
awan-awan seperti gula kapas begitu yang saya biasa baca dalam dongeng-dongeng
majalah bobo.
Matahari mengintip di pagi hari |
Awan-awan cantik dari puncak Inerie |
Sungguh indah bentuk awan, pemandangan kampung adat,
cahaya matahari dan lelah yang terobati dengan senyum bangga saat berada di
puncak gunung. Saya sempat merenungi apa filosofi dan mengapa banyak orang mau
mengorbankan lelahnya untuk mencapai sebuah puncak yang terus terang bukanlah
hal mudah. Saya sempat memperhatikan kawah gunung Inerie yang masih
mengeluarkan aroma belerang dan ternyata kami hanya menginjak puncak 1, yaitu
patahan gunung yang ada di sisi kawah. Untuk mencapai puncak 2, masih harus
menjajal medan yang cukup berat dan sepertinya si Om Guide juga tidak berminat
mengantarkan kami kesana. Kami pun mulai berfoto kece di puncak dan menikmati
bekal yang kami bawa. Gunung Inerie mempunyai ciri seperti gunung api aktif
yang tandus tanpa hutan dan garisnya hampir menyerupai pyramid. Sekitar 1 jam
di puncak dan sinar matahari yang makin menyengat, kami pun mulai menuruni
setapak demi setapak dan ternyata perjuangan lebih berat lagi, saya sempat
terjatuh dan mengalami kejang otot hamstring dan sangat sulit untuk bangkit.
Kembali saya harus menerima kenyataan untuk dituntun kembali.
Di tengah perjalanan,
si om guide memutuskan untuk melalui jalur pasir dengan cara membenamkan kaki
di pasir dan kemudian mari kita meluncuurrrr…..Sungguh pengalaman tak
terlupakan, tapi itu tidak lama kawan-kawan. Kembali lagi kami harus berjalan
menuruni lereng gunung Inerie. Saya cukup kaget melihat kecuramannya, dan
ternyata ketika gelap tadi kami memanjatnya. Di sini saya mulai merenungi bahwa
benar ketika kita mendaki gunung, bukan gunung dan ketinggian yang kita
taklukkan tetapi diri kita sendiri. Bagaimana kita harus bangkit ketika
terjatuh, menahan sakit karena tidak ada pilihan, jiper melihat tingginya
gunung, menyesali kenapa harus ikut-ikutan mendaki, membayangkan tempat tidur
ketika harus melangkah di kegelapan dan bagaimana kita saling menunggu teman.
Perjalanan yang sangat jauh, ya untuk mengenal diri sendiri. Terimakasih wanita
cantik Inerie telah mengajarkanku arti sebuah perjalanan dan betapa indahnya
pulang ke rumah tak lupa telah mewujudkan salah 1 mimpiku di usia 20.
Dengan si puncak 2 |
Komentar
Posting Komentar