Langsung ke konten utama

Membangun Kesadaran Pencegahan Kekerasan Seksual Berbasis Gereja

 


Catatan dari Zoominar Gereja dan Kekerasan Seksual, 17 Juni 2020

Dalam beberapa minggu terakhir, kita mendengarkan beberapa kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di lingkungan gereja. Situasi ini tentu mengecewakan bagi semua orang dimana gereja yang seharusnya menjadi ruang aman bagi tumbuh kembang anak justru menjadi tempat yang potensial untuk menghancurkan masa depan. Kekerasan seksual mungkin menjadi isu yang tabu untuk dibahas dalam ruang lingkup gereja karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai budaya yang kita anut tetapi faktanya dalam setahun terakhir kita bisa menemukan beberapa berita kasus dalam mesin pencari.

Situasi di atas mendorong beberapa perempuan untuk mengangkat isu ini di tengah pandemi yang tidak memungkinkan untuk bertatap muka, bersama United Methodist Women, Komite Nasional Lutheran World Federation dan Persekutuan Pemuda/I Kristen Nusantara mengangkat tema “Gereja Tempat Aman Dari Kekerasan Seksual, Kamu Yakin?” Webinar gratis ini diikuti oleh lebih dari 400 peserta dari Nias hingga ke Manokwari lewat Zoom dan Google Meet. Melalui survei daring yang dilakukan sebelum webinar, 63.9% dari 348 responden mengatakan pernah mendengar kasus kekerasan seksual di lingkup gereja, 42% meragukan kemampuan gereja dalam menangani dan mengusut kasus kekerasan seksual. Narasumber pertama, Pritta Damanik menunjukkan defenisi kekerasan seksual dan 9 bentuk kekerasan seksual yang telah tertuang dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yaitu; pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan kontrasepsi, perbudakan seksual, pemaksaan pelacuran dan pemaksaan aborsi.  Dalam paparannya, Pritta menyinggung bahwa akar dari kekerasan seksual adalah ketimpangan relasi kuasa yang kemudian mendorong  untuk melakukan penyalahgunaan wewenang, ketidaksetaraan gender dan tidak menghormati prinsip Hak Azasi Manusia.

Bunga Kobong, M.Si sebagai narasumber kedua dan seorang konselor profesional menyampaikan bahwa tidak ada alasan untuk menunda memperbincangkan kekerasan seksual di lingkungan gereja karena dampaknya yang sangat destruktif pada diri korban dan merusak gambar diri gereja. Bunga menceritakan beberapa pengalamannya dalam mendampingi kasus dan sulit untuk diungkap karena ketakutan akan stigma, kesulitan bukti, hingga dituding menyebabkan perpecahan di gereja. Beliau juga menyampaikan untuk pentingnya memperlengkapi kemampuan dalam penanganan korban dengan memastikan korban aman, melakukan rujukan dan tidak menyalahkan korban.

Di sesi berikutnya, Pdt. Ira Imelda, M.Si pimpinan Pasundan Durebang Women’s Crisis Center memaparkan bagaimana peran gereja dalam Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual. Ira menyampaikan bahwa kekerasan seksual menghancurkan manusia secara holistik oleh sebabnya isu ini seharusnya tidak hanya muncul sebagai wacana tetapi diwujudkan dalam bentuk kebijakan dan tata kelola. Gereja sebaiknya memiliki kode etik anti kekerasan seksual, mekanisme pengaduan, Standar Operasional Prosedur Layanan, Mekanisme Komplain, dan Sistem Rujukan. Dalam sistem pencegahan, kita bisa memasukkan edukasi tentang otoritas tubuh dan seksualitas dalam kurikulum serta berbagai materi pembinaan bagi anak dan orangtua. Gereja juga memiliki potensi besar membantu program pemulihan secara litigasi melalui konseling dan pendampingan hukum atau non litigasi dengan konseling pastoral holistik. Pendeta yang aktif melayani di Gereja Kristen Pasundan ini juga mengajak gereja untuk terlibat dalam program advokasi kebijakan publik terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang saat ini masih dalam pembahasan di tingkat nasional.

Pada sesi tanya jawab, muncul pertanyaan mengenai pengenalan edukasi seksual yang tepat bagi anak dan sikap Lembaga Pendidikan Kristen untuk pencegahan. Bunga Kobong menyampaikan bahwa tidak ada kata terlambat untuk mengedukasi anak tentang seksualitas karena Pendidikan yang diberikan tentunya bisa disesuaikan dengan usia, di usia balita kita bisa mengajarkan untuk menyebut alat kelamin dengan istilah biologis, mengenalkan bagian tubuh apa yang boleh dan tidak boleh disentuh oleh orang lain, pada usia SD kita bisa membicarakan pubertas dan di usia remaja menggunakan materi Kesehatan Reproduksi. Ira menambahkan bahwa perlunya ada kebijakan pencegahan kekerasan seksual di Sekolah Tinggi Theologia untuk memperlengkapi mahasiswa sebagai bentuk kesadaran dan menunjukkan keseriusan dalam menanggapi permasalahan ini.

Sebagai rekomendasi, ketiga narasumber menyimpulkan beberapa poin yang bisa dilakukan gereja untuk Pencegahan yaitu; Penguatan Kecakapan Hidup Anak melalui Materi Pendidikan Seksual (Menghargai Tubuh, Pubertas dan Kesehatan Reproduksi), Pengenalan Kesetaraan Gender dan Relasi Sehat Kepada Kaum Muda, Pelibatan Kelompok Perempuan dan Laki-Laki Dalam Aktivitas Pengasuhan, Pembuatan Protokol Pencegahan Kekerasan Seksual di Gereja, Sekolah dan Kampus. Untuk penanganan; Perlunya membuat mekanisme rujukan apabila terjadi kasus, Memperkuat Jejaring dengan Kepolisian, P2TP2A, Konselor dan LBH, Memastikan Korban Mendapatkan Pendampingan dan Penanganan yang Berperspektif Korban, Menjaga Kerahasiaan Identitas Korban.

Diskusi ini mengajak kita untuk melakukan refleksi mendalam dan mengambil sikap dalam pencegahan kekerasan seksual. Apakah kita hanya berdiam menganggap kasus kekerasan seksual sebagai aib yang mencederai nama baik gereja dan kemudian melupakan masa depan korban yang juga adalah manusia ciptaan Tuhan? Atau kita bisa memulai dari diri kita dengan mendengarkan penuh empati kepada korban kekerasan seksual sambil memulai gerakan dan menyadarkan pentingnya membangun sistem pencegahan kekerasan seksual demi gereja yang aman dan nyaman bagi setiap orang.

Pritta Novia Lora Damanik

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kerja di NGO, Ngapain Aja?

Empat tahun bekerja di Non Government Organization alias Lembaga Non Pemerintah pastinya telah mengubah banyak hal dalam diri saya, tetapi rasanya setiap bertemu orang baru pasti muncul beberapa pertanyaan yang sama. Oke, saya akan menuliskan beberapa pertanyaan umum yang harus kamu jawab dan jelaskan mengenai status pekerjaan mu. Kiranya bisa menjawab beberapa pertanyaan yang sering mampir ke saya atau jika berkenan mungkin bisa menjadi referensi untuk menjelaskan pekerjaan mu saat ini. 1.               Itu kerjanya ngapain aja? Buanyaakkk, tergantung project, fokusnya, visi misi, Programme Goal, Outcome, Output . Bekerja di NGO pastinya merespon suatu isu sosial, nahh namanya isu social pasti luaaasss sekali. Setelah itu tanyakan saja “Fokus Programnya apa?” Disitu akan muncul istilah pemberdayaan masyarakat, lingkungan, anak, gender, imigran, buruh, pertanian, perikanan, udara, dll. Intinya bekerja di NGO itu men support masyarakat/kaum marjinal atau bahkan pemerintah untuk

Perjalanan di Bawah Laut Kupang

Saya mengingat ketika di akhir tahun 2014, sejenak sebelum berpindah ke tahun 2015 saya sempat mencoba menuliskan resolusi di tengah kesendirian menikmati malam tahun baru sembari mengintip warna-warni kembang api dari jendela kamar. Ada beberapa hal yang saya tuliskan, jujur itu hanya terbersit tiba-tiba dan saya hanya menuliskannya di sebuah aplikasi catatan di HP saya yang masih berusia 3 bulan pada saat itu. Tanpa disangka 3 bulan kemudian HP itu rusak akibat kecerobohan saya saat pergi ke Pulau Kera, Kupang. Bukan tercebur air laut tetapi malah ketumpahan sebotol penuh air mineral di dalam tas saya saat berada di perahu. Beberapa bulan setelah kejadian HP rusak, saya pergi bersama teman jalan terbaik saat itu mencari informasi mengenai spot snorkeling di Kupang mulai dari bertanya ke instagram, komunitas di facebook hingga mendatangi Polairud Kupang demi impian snorkeling. Akhirnya kami menemukan komunitas snorkeling dan ikut snorkeling pagi ataupun sore di tempat itu. Saya j

Tentang Sebuah Pekerjaan

Berapa lama kah saya tidak kembali mem posting sesuatu di blog? TIDAK TERHITUNG. Saya ingat terakhir kali menulis tentang skripsi dan kelulusan saya, mungkin itu tahun lalu. Di tahun 2014 apa saja yang telah terjadi? BANYAK, saya akan menuliskan perjalanan saya menemukan pekerjaan. Suatu hal yang saya idamkan sedari lulus kuliah, yaitu PEKERJAAN. Sebelumnya saya selalu berpikir bahwa kelak setelah dinyatakan lulus oleh universitas, saya akan segera menemukan pekerjaan dengan standar gaji ideal yang tersusun dalam benak seorang freshgraduate. Ternyata tidak semudah itu kawan, bangku kuliah belum memberikan beberapa SKS berjudul “REALITA”. Tapi itu tidak masalah, ketika kuliah kita memang diajarkan untuk berpikir ideal dan mengkonstruksi standar sebatas pengetahuan kita, ketika lulus orang-orang akan menyambut dengan ucapan, “Selamat datang di kehidupan nyata…” Cukup lama waktu yang saya jalani dengan berstatus pengangguran, 8 bulan saya berusaha menemukan pekerjaan dari penuh s