Di tanggal 29 September 2014,
saya siap menapakkan kaki ke tanah timur yang pernah menjadi impian saya.
Setelah menyelesaikan masa orientasi selama kurang lebih 1 bulan di National
Office World Vision Indonesia, saya pun harus bersiap meninggalkan Pulau Jawa
yang telah saya tempati selama 4,5 tahun terakhir. Setelah sebulan menikmati
ibukota, saya akui berat untuk meninggalkan tempat itu tetapi kembali lagi saya
mengingat bahwa saya harus siap untuk menjalani tempat baru yang pernah menjadi
impian saya. Saya teringat ketika masih kuliah, saya pernah mengatakan bahwa
saya nantinya akan bekerja di sebuah NGO Internasional dan menjelajah pelosok
Indonesia. Seorang teman mengatakan bahwa kelak saya akan menjadi budak kantor
sama halnya dengan dia yang sangat kesulitan untuk merasakan liburan tetapi
saya menjawab, “Nggak ahh, ntar aku kerjanya di pantai dan gunung bukan di
balik meja…” Ketika seorang teman mengatakan bahwa saya juga akan menjadi
bagian dari penatnya Jakarta, saya menjawab “Nggak ahh, aku kan mau kerja di
NTT…”
Entah apa yang membuat saya
menjawab seperti itu, padahal saat itu saya juga tidak tahu bahwa Propinsi NTT
terdiri dari Pulau Flores, Sumba, dan Timor. Sejujurnya saya baru memahami
bahwa NTT terdiri dari 3 pulau besar tersebut ketika saya menjalani wawancara
akhir dan calon atasan menjelaskan bahwa tugas saya adalah mensupervisi proses
sponsorship di 3 pulau itu. Tiba-tiba saya teringat dengan konsep MESTAKUNG,
yang sebelumnya pernah saya alami. Saya juga mengingat postingan seorang teman
yang mengatakan berhati-hatilah sebelum mengucapkan keinginanmu sebab semesta
mendengarnya dan akan membuatnya terwujud!
Menembus gelapnya subuh, saya pun
berangkat menuju bandara Soetta dengan menaiki taksi berlogo burung biru dan
membayarnya dengan voucher. Dengan mendorong troli berisi 2 buah koper, 1 tas
travel, 1 buah carrier dan tas laptop, saya masuki counter check in dan
membayar kelebihan bagasi. Saya akan terbang dengan maskapai berlambang simbol Negara Indonesia, disini
saya mengingat kembali bahwa saya sebagai seorang penganut iritisme dan mandor
tiket promo pernah berkata, “Aku bakal naik Garuda kalau dibayarin perusahaan
asing atau NGO asing tempat aku kerja nanti!” Hahahaha. Terimakasih semesta
yang mendengar dan Tuhan Yesus yang memberikanku kesempatan untuk
mewujudkannya… Selama kurang lebih 3 jam penerbangan, saya hanya bisa merenung
mengapa saya bisa berangkat dan bekerja disana. Ketika akan mendarat di Kupang,
saya melihat topografi yang begitu berbeda dan kenapa hanya warna cokelat yang
terlihat dari atas pesawat? Ya, saya datang ketika musim kemarau, dan kota
Kupang dalam titik panas dan kering. Setiba di Bandara El Tari saya mengantri
datangnya bagasi dan saya juga harus merasakan sedikit drama yaitu KEHILANGAN
KOPER berukuran besar. Petugas bandara kemudian menghampiri saya, dan meminta
saya mengisi form kehilangan. Saya diminta menuliskan alamat saya padahal ini
kali pertama saya menginjakkan kaki di kota Kupang. Untungnya atasan yang
menjemput saya menerobos masuk dan memberikan kartu nama nya dan pihak bandara
berjanji akan mengantarkan koper saya. Untungnya 1 koper lainnya masih berisi
baju-baju yang bisa saya gunakan.
Setelah 2 hari menginap di hotel,
saya kemudian pindah ke kamar kos yang juga menjadi salah satu tempat favorit
saya. Dilanjutkan dengan rutinitas ngantor, setiap hari saya berangkat
menggunakan bemo Kupang yang terkenal karena music ajeb-ajeb dan sound system
mewahnya dan pelan-pelan mempelajari pekerjaan yang tengah saya geluti. Saya
kemudian menerima jadwal travel pertama saya ke Bajawa, Ngada untuk bulan
November-Desember. Nantikan saja postingan selanjutnya, apakah harapan saya
untuk bekerja di pantai dan gunung itu terjawab…
Foto diambil menggunakan kamera HP di sebuah pantai dan dermaga kecil yang berjarak hanya 15 menit berjalan kaki dari tempat tinggal saya
NB: Mungkin topic blog ini akan
beralih menuju cerita seorang pekerja social dan panduan traveling di sekitar
NTT.
Komentar
Posting Komentar